Selasa, 03 Januari 2012

MODEL KONSEP KURIKULUM TEKNOLOGIS

I.                   PENGERTIAN KURIKULUM
Ditinjau dari asal katanya, kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang mulu-mula digunakan dalam bidang olah raga, yaitu kata currere, yang berarti jarak tempuh lari. Dalam kegiatan berlari tentu saja ada jarak yang harus ditempuh mulai dari start sampai dengan finish, jarak dari start sampai dengan finishini disebut currere. Atas dasar tersebut kurikulum diterpkan dalam bidang pendidikan.
Kemudian para ahli kurikulum membuat macam-macam batasan tentang kurikulum tersebut, mulai dari pengertian tradisional sampai dengan pengertian modern, mulai dari pengertian yang simple (sederhana) sampai dengan pengertian yang kompleks. Setiap ahli memiliki versi batasan yang berbeda-beda.
Kurikulum    merupakan    seperangkat    rencana    dan    pengaturan    tentang kompetensi yang dibakukan dan cara pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah. Kompetensi perlu dicapai secara tuntas (belajar tuntas). Kurikulum  dilaksanakan  dalam  rangka  membantu  anak  didik  mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial- emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar.[1]

Kurikulum merupakan aktivitas dan kegiatan belajar yang direncanakan, diprogamkan bagi peserta didik di bawah bimbingan sekolah, baik di dalam maupun di luar sekolah. Atas dasar itu secara operasional kurikulum dapat didefinisikan sebagai:[2]
1.      Suatu bahan tertulis yang berisi uraian tentang program pendidikan suatu sekolah yang dilaksanakan dari tahun ketahun.
2.      Bahan tertulis yang dimaksudkan untuk digunakan oleh guru dalam melaksanakan pengajaran untuk siswa-siswanya.
3.      Suatu usaha untuk menyampakan asas dan cirri terpenting dari suatu rencana pendidikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan guru disekolah.
4.      Tujuan-tujuan pengajaran, pengalaman belajar, alat-alat belajar dan cara-cara penilaian yang direncanakan dan digunakan dalam pendidikan.
5.      Suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujan pendidikan tertentu.[3]

II.                PEMBAHASAN
Abad dua puluh ditandai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan teknologi mempengaruhi setiap bidang dan aspek kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Dewasa ini sesuai dengan perkembangannya yang digunakan adalah teknologi maju, seperti audio dan video cassette, overhead projector, film slide, dan motion film, mesin pengajaran, computer, CD-rom dan internet.
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak dan perangkat keras. Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat, sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga tenologi system.
Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih menekankan kepada penggunaan alat-alat teknlogis untuk menunjang efisiensi dan efektvitas pendidikan. Kurikulumnya berisi rencana-recana penggunaan berbagai alat dan media, juga model-model pengajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat. Contoh-contoh model pengajaran tersebut adalah: pengajaran dengan bantuan film dan video, pengajaran berprogram, mesin pengajaran, pengajaran modul, Pengajaran dengan bantuan komputer, dan lain-lain.
Dalam arti teknologi system, teknlogi pendidikan menekankan kepada penyusunan program pengajaran atau rencana pelajaran dengan menggunakan pendekatan system. Program pengajaran ini bisa semata-mata program system, bisa program system yang ditunjang dengan alat dan media, dan juga program system yang dipadukan dengan alat dan media pengajaran.
1.      Beberapa ciri kurikulum teknlogis
Kurikulum yang dikembngkan dari knsep teknologi pendidikan, memiliki beberapa ciri khusus, yaitu:
a)      Tujuan. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi\, yang dirumuskan dalam bentuk prilaku.
b)      Metode. Metode yang merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang seebagai proses mereaksi terhadap perangsang- perangsang yang diberikan dari apabila terjadi reespons yang diharapkan maka respons tersebut diperkuat. Pelaksanaan pengajaran mengikuti langkah- langkah sebagai berikut.
1.      Penegasan tujuan
2.      Pelaksanaan pengajaran
3.      Pengetahuan tentang hasil
c)      Organisasi bahan ajar. Bahan ajar atau isi kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan suatu kompetensi. Bahan ajar atau kompetensi yang luas/besar dirinci menjadi bagian-bagian atau subkompetensi yang lebih kecil, yang menggambarkan obyektif. Urutan dari obyektif-obyektif ini pada dasarnya menjadi inti organisasi bahan.
d)     Evaluasi. Kegiatan evaluasi dilakukan setiap saat pada akhir suatu pelajaran, suatu unit maupun semester. Fungsi evaluasi ini bermacam-macam, sebagai umpan balik bagi siswa dalam evaluasi formatif maupun evaluasi sumatif.
Pengajaran teknologis sangat menekankan efisiensi dan evektivitas. Program dikembangkan melalui beberapa kegiatan uji coba dengan sample-sampel dari populasi yang sesuai, direvisi beberapa kali sampai standart yang diharapkan dapat dicapai. Dengan model pengajaran ini tingkat penguasaan siswa dalam standar konvensional jauh lebih tinggi dibandingkan dengan model lain.
Meskipun memiliki kelebihan-kelebihan, kurikulum teknologis tidak terlepas dari beberapa keterbatasan atau kelemahan. Model ini terbatas kemampuannya untuk mengajarkan bahan ajar yang kompleks atau membutuhkan penguasaan tingkat tinggi (analisis, sintesis,evaluasi) juga bahan-bahan ajar yang bersifat afektif.
III. KONTRIBUSI KURIKULUM TEKNOLOGIS
Pengembangan kurikulum teknologis berpegang pada beberapa criteria, yaitu :
a.       prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh pengembang kurikulum yang lain.
b.      Hasil pengembangan terutama yang berbentuk model adalah yang bisa diuji coba ulang dan hendaknya memberikan hasil yang sama.
            Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada kompetensi. Pengembangan dan pengembangan dan penggunanan alat dan media pengajaran bukan hanya sebagai alat bantu tetapi bersatu dengan program pengajaran dan ditunjukan pada penguasaan kompetensi tertentu.
            Pengembangan kurikulum ini membutuhkan kerja sama dengan para penyusun program dan penerbit media elektronik dan media cetak. Dipihak harus dicegah jangan sampai pengembangan kurikulum ini menjadi objek bisnis. Pengembangan pengajaran yang betul-betul berstruktur dan bersatu dengan alat dan media membutuhkaan biaya yang tidak sedikit.
            Pengembangan kurikulum teknologis terutama yang menekankan teknologi alat, perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, formulasi perlu dirumuskan terlebih dahulu apakah pengembangan alat atau media tersebut benar-benar diperlukan. Hal ini menyangkut pasaran. Kedua spesifikasi, diperlukan adanya spesifikasi dari alat atau media yang akan dikembangkan, baik dilihat dari segi kegunaannya maupun ketepatan penggunaanya.

KESIMPULAN
      Kurikulum    merupakan    seperangkat    rencana    dan    pengaturan    tentang kompetensi yang dibakukan dan cara pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah. Kompetensi perlu dicapai secara tuntas (belajar tuntas). Kurikulum  dilaksanakan  dalam  rangka  membantu  anak  didik  mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial- emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar.
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak dan perangkat keras. Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat, sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga tenologi system.
DAFTAR PUSTAKA
Subandiah. Pengembangan dan inovasi kurikulum. Jakarta : RajaGrafindo persada. 1996
            Sukmadinata, nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum : teori dan praktek. Bandung : Remaja rosdakarya. 1997


[1] file:///G:/net/kurikulum.htm browsing tanggal 13 oktober 2009 pukul 05.00 a.m
[2] Subandiah. Pengembangan dan inovasi kurikulum. Jakarta : RajaGrafindo persada. 1996 hal.2
[3] Sukmadinata, nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum : teori dan praktek. Bandung : Remaja rosdakarya. 1997  hal.97-98

DEMOKRASI DALAM PENDIDIKAN PLURALISME

PENDAHULUAN
Dalam era globlalisasi, kesadaran akan identitas pribadi maupun persekutuan semakin menonjol. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasikan identitas individu atau kelompok di tengah kemajemukan masyarakat, setiap individu memiliki ekspresi simbolik yang berbeda-beda sehingga juga akan melahirkan komunitas yang berbeda pula.
Keragaman dalam memahami dan mengaktualisasikan identitas itulah yang akan melahirkan dan membentuk pluralisme. Kesadaran akan pluralisme ini merupakan salah satu obyek yang menonjol dalam glooblalisasi. Sebab, ketika dunia semakin menyatu, semakin majemuk pula bentuk-bentuk ekspresinya. Dengan kata lain, kemajemukan menuntut untuk diakui dan diberi tempat dalam kehidupan bermasyarakat.
Semakin luasnya kesadaran pluralisme ini, berdampak pula pada aspek pendidikan masyarakat. Jika kita memahami hal ini secara dangkal, tentu kita akan berpikir bahwa system  pendidikan yang dilaksanakan akan menjadi kacau dikarenakan banyaknya hal-hal yang turut serta dalam proses pembelajaran.
Untuk itu, kiranya perlu adanya pembahasan lebih lanjut dalam pemahaman tentang pendidikan pluralisme. Sebab nantinya, hal ini akan bersangkut-paut pula dengan sebuah prinsip demokrasi yang telah menjadi asas bagi masyarakat.



PEMBAHASAN
A.    SEPUTAR PLURALISME
Menurut Richard J. Mouw dan Sander Griffon (1993 :13), Pluralisme[1] secara lughowi berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Lebih luas lagi, pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas (a pluralism is an “ism” about a plurality).[2]
Seperti dalam keadaannya, masyarakat sering mulai membicarakan pluralisme keika pluralisme itu dianggap sebagai sebuah fenomena yang penting untuk diperhatikan. Namun demikian, menurut Nur Kholis Madjid (dalam rachman, 2001 :31), pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang jusru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negative, hanya ditilik dari kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.
Seecara garis besar, pengertian konsep pluralisme, menurut Alwi Shihab (1999) dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Pluralisme tidak semata menunjuk pda kenyataan adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan akif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Jadi, seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.

2.      Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka raga ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Di dalamnya hanya ada sedikit interaksi positif yang dilakukan penduduk.
3.      Konsep pluralismtidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang enyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Jadi, semua kemajemukan dianggap sama.
4.      Dalam pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni enciptakan agama baru dengan memadukan unsure tertentu sebagai kmpnen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.[3]
Memerhatikan pengertian yang panjang tentang konsep pluralisme seperti itu, akan dapat memberikan semacam ketegasan adanya masalah besar dalam kehidupan beragama yang ditandai oleh kenyataan pluralisme.
Dengan begitu, perlu dicatat untuk dapat dijadikan sebagai pedoman, yang dimaksud dengan konsep pluralisme adalah suatu sikap saling mengerti, memahami dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan demi tercapainya kerukunan antar umat beragama.
B.     SEPUTAR DEMOKRASI
Kata demokrasi terkesan sangat akrab dan seakan sudah dimengerti begitu saja. Dalam banyak perbincangan, mulai dari yang serius sampai yang santai kata demokrasi sering terlontar. Namun apa dan bagaimana sebenarbya makna dan hakikat substansi demokrasi mungkin belum sepenuhnya dimengerti dan dihayati, sehingga perbincangan tentang demokrasi bias saja tidak menyentuh makna dan hakikat dan substansi serta dilakukan secara tidak demokratis.
Demokrasi sebagai suatu system telah dijadikan alternative dalam berbagai tatanan aktifitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa Negara. Ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai suatu system bermasyarakat dan bernegara :
1.   Hampir semua Negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental.
2.      Demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertingginya.
Secara etimologis, demokrasi terdiri dari dua kata yang beasal dari bahasa yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau ”cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, secara bahasa demokrasi adalah kadaan Negara di mana dalam system pemerintahannya kedaulatannya di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.[4]
Secara istilah, demokrasi menurut Joseph A. Schmeter adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
Dengan demikian, makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan Negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Sehingga dapat dismpulkan bahwa hakikat demokrasi sebagai suatu system bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan Negara maupun pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal :
1.      Pemerintahan dari rakyat (government of the people)
2.      Pemerintahan oleh rakyat (government by people)
3.      Pemerintahan untuk rakyat (government for people)


C.    PROSES DEMOKRASI DALAM MENYIKAPI PENDIDIKAN PLURALISME
Kalau kita mau melihat kembali kepada hadits nabi Muhammad SAW yang mengatakan :
طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة (الحديث)
Yang berarti : menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim baik pria maupun wanita.
Maka kita akan melihat bahwa pendidikan itu harus disebarluaskan hingga meliputi segenap lapisan masyarakat. Laki-laki dan perempuan harus menuntut ilmu atau juga harus menempuh pendidikan . jadi, kalau menurut hadits tersebut tidak boleh ada satu orangpun yang tidak berpendidikan. Tinggal lagi kepada pengelola Negara dan pengelola pendidikan itu sendiri untuk menyediakan segala sarana, segala kesanggupan dan kemampuan untuk mewujudkan pendidikan untuk segenap warga Negara.
Hal ini juga dikuatkan oleh pemerintah dengan mengembangkan asas demokrasi dalam pendidikan, dan hal ini dapat dilihat dari apa yang teersebut dalam undang-undang Dasar pasal 31, yang berbunyi :
1.      Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran
2.      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pengajaran nasional yang diatur dalam Undang-undang[5]
Selanjutnya apa yang dimaksud dengan Demokrasi dalam Pendidikan adalah merupakan proses untuk memberikan jaminan dan kepastian adanya persamaan dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di dalam suatu masyarakat.[6] Menurut definisi ini, demokrasi dalam pendidikan tidak terbaas hanya kepada memberikan jaminan adanya persamaan hak untuk bersekolah saja. Hal ini dapat dicapai dengan menstandarkan semua sekolah-sekolah, suatu kondisi yang sekarang ini terdapat di banyak Negara.
Dalam kamus New Book of Knwledge volume 4 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan demokrasi pendidikan adalah sebagai berikut :
“Democracy of education is democracy provides equal educational opportunities for all, without regard for race, creed, colr or social position”[7] atau
“Demokrasi Pendidikan adalah demokrasi yang memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua orang, tanpa membedakan ras (suku), kepercayaan, warna dan status sosial”.
Definisi di atas memberi pengertian bahwa setiap individu mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran tanpa harus dibedakan apakah individu itu berada pada tingkatan kelas bawah (under class), kelas menengah (middle class), dan kelas atas (high class). Masing-masing mempunyai hak tnomi untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan potensi yang dimlikinya melalui bidang pendidikan.
Melaksanakan demokrasi, melibatkan usaha dalam lingkungan yang luas untuk mencapai dan mengerti teka-teki atau rahasia dari perbedaan-perbedaan individual ataupun kelompok, dan kemudian guna memastikan bahwa di samping untuk mendapatkan cara belajar biasa pada suatu masa tertentu yang merupakan suatu tugas bagi setiap sitem pendidikan.
Masyarakat Indonesia dengan tingkat kemajemukan sangat tinggi baik etnik, budaya, ras, bahasa dan agama merupakan potensi sekaligus ancaman. Berbagai konflik bernuansa SARA yang terjadi beberapa tahun silam, sering dikaitkan dengan kegagalan bangsa ini memahami pluralitas. Secara spesifik pendidikan juga dituding telah gagal menjalin keragaman itu melalui pendidika yang melampaui sekat-sekat agama.
Mencermati realitas tersebut, pemikiran mengenai pentingnya pendidikan pluralisme[8], terutama bagi bangsa Indonesia yang majemuk bukan tanpa alasan. Lebih jelasnya, menariklah kalau kita memerhatikan suatu definisi tentang pendidikan pluralisme yang disampaikan Frans Magnez Suseno (dalam Suara Pembaruan, 23 September 2000), yaitu suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yag memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan dan solidaritas[9].
Dengan model pendidikan pluralisme seperti ini, diharapkan mampu memberikan dorngan terhadap penciptaan perdamaian dan upaya menanggulangi konflik yang akhir-akhir ini marak, sebab nilai dasar dari pendidikan pluralisme adalah penanaman dan pembumian nilai toleransi, empati, simpati, dan solidaritas social.
Karena masyarakat kita majemuk, maka kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjdi manusia yang utuh, yaitu generasi muda yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.
Demi terealisasinya tujuan kurikulum pluralisme tersebut, Hasan Hamid menyarankan untuk memerhatikan kurikulum sebagai proses. Ada  empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai proses ini, yaitu :
1.      Posisi siswa sebagai subjek dalam belajar
2.      Cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya
3.      Lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah kultur siswa
4.      Lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar
Metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan pluralisme adalah dengan menggunakan model komunikatif dengan menjadikan aspek perbedaan tersebut sebagai titik tekan. Metode dialog ini sangat efektif, apalagi dalam proses belajar mengajar yang sifatnya perbandingan agama dan budaya. Sebab, dengan dialog ini memungkinkan setiap komunitas dapat mengemukakan pendapat secara argumentative, sehingga diharapkan dalam proses inilah, demokrasi dalam pendidikan pluralisme akan muncul.

PENUTUP
Pluralisme adalah faham yang meyakini tentang adanya keanekaragaman atau kemajemukan dalam masyarakat pada suatu daerah. Kemajemukan itu terdiri dari : agama, suku, budaya dan lain-lain.
Demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
Demokrasi dalam Pendidikan adalah merupakan proses untuk memberikan jaminan dan kepastian adanya persamaan dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di dalam suatu masyarakat.
Undang-undang Dasar 1945 pasal 31, yang berbunyi :
1.      Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran
2.      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pengajaran nasional yang diatur dalam Undang-undang
Pendidikan Pluralisme yaitu suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yag memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, H.B. Hamdani,1990. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : Kota Kembang
Arifin, Syamsul. 2001.Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi : rekontruksi dan aktualisasi tradisi ikhtilaf dalam islam. Malang : UMM Press
Ma’arif, Syamsul.2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta : Logung Pustaka
Rosyada, Dede dkk. 2005. Pendidikan Kewargaan (civic education) : Demokrasi, Hak Asaai Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta : Prenada Media
UUD 1945 DAN  AMANDEMENNYA. 2007.  Bandung : Fokusmedia



[1] Istilah pluralisme di sini harus dibedakan dengan pluralitas. Meskipun di antara keduanya sering dipakai secara bergantian tanpa ada penjelasan tentang apakah dua kata ini mempunyai kata yang sama atau berbeda. Adakalanya pluralisme dan pluralitas mempunyai kata yang sama, yaitu keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak. Dengan demikian dalam tulisan ini yang dimaksud dengan pluralisme adalah bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural dan jamak, tetapi suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak, banyak.
[2] Ma’arif, Syamsul.2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta : Logung Pustaka, hal. 11
[3] Ibid, hal. 15
[4] Rosyada, Dede dkk. 2005. Pendidikan Kewargaan (civic education) : Demokrasi, Hak Asaai Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta : Prenada Media, hal.111
[5] UUD 1945 DAN  AMANDEMENNYA. 2007.  Bandung : Fokusmedia, hal.23
[6] Ali, H.B. Hamdani,1990. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : Kota Kembang, hal.177
[7] Arifin, Syamsul. 2001.Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi : rekontruksi dan aktualisasi tradisi ikhtilaf dalam islam. Malang : UMM Press, hal.90
[8] Pendidikan seperti ini, sesungguhnya merupakan sarana yang sangat efektif untuk menginternalisasikan nilai-nilai inklusivitas dan toleransi pada peserta didik. Dengan ini diharapkan bagi  murid bias memandang pluralitas keindnesiaan dalam berbagai aspek social, ekonomi, politik, budaya, da agama sebagai ekayaan spiritual bangsa yang harus tetap dijaga kelestariannya.
[9] Ma’arif, Syamsul.2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta : Logung Pustaka hal.92

Tragedi Marwa Al-Sharbini dan Sulitnya Jadi Minoritas

 
Tak mudah menjadi orang yang beda di dalam satu komunitas, apalagi perbedaan itu adalah masalah keyakinan dan agama. Ini yang dialami oleh Marwa Al-Sharbini di Jerman, negara dengan minoritas penduduk muslim.
Marwa Al-Sharbini, orang Mesir yang lahir di Alexandria, 7 Oktober 1977, bersama suaminya, Alwi Ali Okaz mengadu nasib di Jerman tahun 2005. Marwa bekerja sebagai apoteker (pharmacist) di University Hospital Dresden dan di beberapa apotik di Dresden. Sementara Alwi menjadi ilmuwan dan peneliti di Max Planck Institute for Molecular Cell Biology and Genetics.
Sebagaimana pasangan muda lainnya, Marwa dan Alwi sebagai suami-istri memiliki cita-cita mulia, bekerja dan mencari uang untuk keluarga, menjadikan rumah sebagai tempat yang sakinah, mawaddah wa rahmah dan membesarkan anak dalam kehidupan yang Islami. Bersama muslim lainnya di Dresden, Marwa dan Alwi juga mendirikan sebuah LSM yang bertujuan mengembangkan pendidikan dan kebudayaan Islam di Jerman.
Cita-cita mulia itu kandas sejak Marwa bertemu dengan Alex W. di bulan Agustus 2008, tetangga yang kerap melecehkannya karena memakai jilbab. Ia sering diteriaki sebagai teroris ketika bertemu dengan laki-laki yang lahir di Rusia ini. Karena merasa terancam, Marwa melaporkannya pada kantor polisi setempat. Alex ditangkap dan di sidang di pengadilan negeri Dresden, ia juga diancam hukuman denda sebesar 780 Euro.
Persidangan yang alot, oleh jaksa penuntut umum Marwa sempat dituduhkan sebagai Xenophobia, orang yang takut pada keramaian. Sampai pada sidang di hari Rabu, 1 Juli 2009, ketika Marwa bersaksi atas tindakan Alex, pria yang tak suka dengan Marwa ini mendekati istri Alwi yang tengah hamil 3 bulan, kehamilan anak kedua, lantas menusuknya hingga 18 tusukan. Alwi yang mencoba menolong istrinya malah tertembak oleh petugas pengadilan, peluru itu menembus hingga paru-paru dan ia luka parah. Petugas itu mengatakan salah tembak untuk melerai dan kini tengah dalam penahanan.
Di hari itu, Rabu, 1 Juli 2009, Marwa menghembuskan nafas terakhirnya, meninggalkan Alwi dan Mustafa, anak pertama mereka. Marwa meninggal dunia bersama anak yang belum dilahirkannya.
Kejadian ini mengejutkan dunia Islam. Banyak yang geram, tak sedikit yang marah atas tindakan sewenang-wenang Alex pada Marwa. Belum lagi pemerintah Jerman terkesan menutup-nutupi kasus ini. Tragedi satir bermula dari tuduhan dan hinaan sebagai teroris sampai Marwa meninggal, kasus ini menjadi kasus dunia hingga ke tingkat solidaritas antar agama.
Stephan Kramer, Sekjen Lembaga Organisasi Yahudi Jerman (Zentralrat der Juden in Deutschland) mengatakan bahwa masalah ini adalah masalah kemanusiaan yang pelik, di mana sulit untuk menjadi minoritas yang menjalankan kepercayaannya di negara seperti Jerman. Beberapa politisi Jerman meminta pemerintahnya mengusut tegas meski dalam perkembangannya, tragedi Marwa tetap memprihatinkan dan pemerintah Jerman belum berbuat banyak dalam hal penanganan.
Di Mesir dan negara-negara Islam lainnya sendiri, dukungan terhadap Marwa merebak, demonstrasi menuntut atas ketidakadilan yang dialami oleh umat Islam di negara barat ini harus diadili tuntas. Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad juga menulis surat ke PBB atas ketidakadilan ini. Apapun adanya, memang sulit menjadi minoritas di sebuah komunitas dan tatanan yang sudah terbentu.
SEBUAH ANALISA
Setelah mengetahui artikel di atas, perlu kiranya ini menjadi renungan besar bagi umat islam di seluruh dunia. Tidak ada kelemahan sehingga kelemahan itu tertutup oleh sedikit kelebihan, dan tidak ada kelebihan sehingga kelebihan itu tertutup oleh sedikit kelemahan, itu hanya ada dalam dua kondisi, SADAR atau TIDAK SADAR KAH anda,,??
Marwa adalah salah satu contoh dari jutaan umat islam yang tinggal dalam sebuah kubangan minoritas, hidup dengan lingkungan yang tak sepenuhnya memihak, tidak tahu kapan kawan menjadi lawan, tapi dia tetap berusaha istiqamah badan maupun lisan, meskipun aral yang menerjang tak kunjung berhenti.
Dalam sebuah Negara maju seperti jerman, saya kira tetap ada kata HUKUM baginya. Tetap ada usaha untuk melakukan penertiban dari setiap pelanggaran, tetapi yang perlu dipertanyakan adalah :
-          Siapa yang membuat hukum,,??
-          Siapa yang melakukan penertiban,,??
-          Siapa yang melanggar,,??
Sebenarnya pertanyaan ini bisa menjadi sebuah kekuatan, tetapi di lain sisi itu malah menjadi kelemahan besar bagi sebuah hukum.
Jerman adalah negara yang penuh peraturan dan dunia pun tahu bahwa jerman termasuk negara yang keras dan tegas terhadap segala bentuk pelanggaran hukum. Dalam pemberian hukuman, juga dikenal sangat sadis dan kejam. Tetapi, setelah muncul kasus dan tragedi Marwa Al-Sharbini, hukum di Jerman seakan mati tanpa melakukan penindakan tegas. Meskipun KATANYA telah banyak politisi jerman yang meminta kasus ini diusut tegas, tapi hasilnya NIHIL.
Andai marwa itu bukan seorang muslimah, apakah hukum di Jerman tetap bersikap dingin terhadap kasus yang menimpanya,,??
Inilah kenapa di awal saya telah menyebutkan “ketiga pertanyaan inti” di atas menjadi sebuah kekuatan ataukah kelemahan. Kita akan tahu, jika dalam diri selalu berusaha hidup dalam sebuah kesadaran.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Akhmad Wakhidillah Agung P. | Berotak London, Berhati Masjidil Haram, Berkepribadian Nusantara |